Bismillah. Menulis, mengeja hati.
* Youtube: RB PURNAMA * Twitter: @purnamahati_id
Bismillah. Menulis, mengeja hati.
* Youtube: RB PURNAMA * Twitter: @purnamahati_id
juli terakhir
menyimpan jeda panjang tanpa suara
matahari yang tertunduk
kata-kata yang memilih mengatup
diri terpekur dalam-dalam
menatap Bapak berbalik
pamit diam selamanya
: Aku rindu anak kecil dalam diri Bapak
/2021-2024
Aku menyukai warna-warna teduh di matanya Seperti hari ini saat senja sedang menunduk dan memerah di dalamnya Aku pernah menjadi pemilik seluruh senyum dari wajahnya Pundaknya serupa laut tempat meluruhkan segala kesedihan yang memuncaki ubun-ubun Sore ini hujan mengunci seluruh ingatan menjadi keheningan panjang yang ingin terus kuulang Tapi selama apapun terlelap satu sama lain adalah mimpi yang takkan pernah bisa saling meraih Duh TUHAN alam terus saja mengira-ngira entah seperti apa takdir ini Engkau akhirkan /Rita Bulan, Tinambung 2021
Reruntuhan pertanyaan jatuh bersama guguran bunga di atas makam itu. Satu yang paling bisa kubaca. Yang berpulang dengan kenangan baik, akankah kita juga?
Seluruh doa adalah tempat meletakkan ketakutan yang tak bisa kita sembunyikan. Pada wajah-wajah yang menyimpan teduh, saya membaca yang lainnya.
: Kasih Tuhan, Ar Rahman. Maha Baik.
/Kandeapi, 2020
: Sapardi Djoko Damono di tengah hutan yang sedang kelabu seekor burung kecil kedinginan bertengger sejak pagi tertunduk menyimpan parau dalam kicau yang tak mampu membendung pilu di kakinya dahan bebungaan pohon tersedu mengeja kembali bait-bait puisi yang pernah melukis pelangi pada langit-langit musim yang biru nanti, setiap kali akarnya kering oleh waktu lembar demi lembar dedaunan akan luruh menyuarakan apa saja yang tak bisa kau dengar dari hatimu di antara semua yang akan kita kenang puisi menjadi rindu paling abadi yang tak ingin dilepaskannya lagi kini dan nanti /Polewali Mandar, 2020 *Kompasiana, 22 Juli 2020
Kita terdiam di depan kata-kata yang saling berpelukan seperti sedang merayakan pertemuan Lalu apakah setelah ini kita masih akan menyamar menjadi sebuah puisi persembahan kepada teman? /2020
"Nyanyian rinduku takkan pernah usai lirik-liriknya takkan pernah menemui not terakhirnya sungguh takkan habis hingga jasadku tak bersisa" ___ Ingin kubenamkan diriku jauh ke dasar samudera barangkali di bawah sana suaramu kan kehilangan frekuensinya Ingin kupasung diriku di puncak gunung yang tinggi barangkali di atas sana bayanganmu kan lelah kehilangan kekuatannya Tapi aku yakin semuanya juga akan sia-sia karena kemana pun aku selalu membawa serta hatiku Hati yang telah kau kuasai dengan sepenuhnya hati yang telah kau lekati bayanganmu hampir sempurna hati yang padanya telah kau abadikan dalam cerita bahagia sekaligus luka /Makassar, 2019
Momen 29 Februari ini menjadi puncak perjalanan puisi-puisi BTPP sepanjang 2019 dan 2020.
Wahai Bulan yang diamuk rindu, Mengapa puisimu semata sendu? Padahal, pendar kulihat di matamu Kala pertama kita bertemu Di pekat malam ketika itu Aduhai Bulan yang dimabuk rindu, Mengapa puisimu suram begitu? Padahal, cintamu bukannya lugu Ia akan menjadi debu Jika hanya menunggu Apatah lagi meragu dan tergagu Bagiku, Puisi-puisimu serupa tandu Yang membawa jiwamu ke rantau Untuk mencari kekasihmu Bagai Sassi, Sohni, dan Marui dalam cerita Urdu Yang rela terbakar hingga jadi abu Demi kasihnya yang satu Engkau Bulan kepalang rindu, Meminta pesan dan kesan dariku Tentang bukumu yang penuh kelabu Mari sini, kubisikkan sesuatu dalam kelambu: Bahawa cinta tlah membuatmu sakau Sekaligus memukau Jika kau terus merayau, Kau mungkin menahan ngilu Perlukah kukirimkan buluh perindu? 😊
*)Eseis dan editor lepas
pernah, langkah-langkah patah kupaksa berlari dalam hujan barangkali dengan begitu kesedihan tak terlalu menyakitkan /Tinambung, 2020
*Kutipan puisi "Pernah" dalam buku kumpulan puisi BuLan berikutnya.
Masih drafting 😉